Video

Sekularisma dan Akidah Islam

Tuesday, May 5, 2009

Sekularisma dan Akidah Islam

Sekularisma liberal tidak melarang umat manusia untuk beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan hari akhir. Kerana sekularisma jenis ini punya prinsip "mengakui kebebasan beragama bagi setiap manusia".

Ini adalah haknya yang telah diakui oleh piagam antarabangsa dan telah dijalani oleh undang-undang baru. Ini minimal dari segi teori.

Tetapi di "negeri Islam", Islam tidak merasa puas akidahnya hanya terbatas diperkenankan untuk diyakini dan tidak dilarang sebagaimana jenayah dadah.

Islam ingin akidahnya menjadi ruh kehidupan dan inti alam, menjadi pemberi inspirasi bagi putra-putra masyarakat dan dasar bagi pembentukan jiwa dan pemikiran.

Dengan kata lain, Islam menjadi tapak tarbiyah kebudayaan, kesenian, penerangan, undang-undang dan hukum serta tradisi di masyarakat seluruhnya.

Islam menanamkan pada jiwa anak, sejak usia paling dini, akidah tauhid yang membebaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah, yaitu penghambaan kepada alam, kepada binatang, jin, manusia dan batu, hawa nafsu, thaghut dan mahluk lainnya kepada penghambaan dan pengabdian kepada Allah saja yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya sebagaimana hal itu diketahui melalui Surat Al-Fatihah yang dibaca oleh setiap Muslim setiap shalat,

"Kepada-Mu kami beribadah dan kepada-Mu kami beristi'anah (memohon pertolongan). " Al-Fatihah: 5

Bahkan bila seorang bayi lahir, laki-laki maupun perempuan, seorang Muslim dianjurkan untuk mengadzani telinga kanannya yakni memperdengarkannya kalimat: Allahu Akbar. . . Allah Akbar dan kalimat Tauhid: Asy hadu Anlaa Ilaaha Illallah, juga kalimat risalah: Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah Agar kalimat tauhidlah yang pertama kali masuk ke telinga sang bayi itu.

Begitu juga kalimat yang paling terakhir didengar dan diucapkan seorang Muslim ketika sekaratul maut adalah kalimat tauhid.

Jadi, seorang Muslim memasuki arena kehidupan dengan akidah tauhid dan meninggalkannya juga dengan tauhid, sedang ia pun menjalani hidup di dunia dengan iltizam (komitmen) terhadap tauhid dan menyerukannya.

Tauhid yang merupakan inti ajaran Islam tidak hanya kalimat yang diucapkan atau syahadat (kesaksian) yang diumumkan.

Tauhid adalah orientasi pemikiran, kejiwaan, akhlak dan perbuatan yang menuntut seorang Muslim untuk tidak mencari Tuhan selain Allah dan tidak menjadikan selain Allah sebagai kecintaan dan pendukungnya serta tidak mencari undang-undang dan hukum selain undang-undang dan hukum Allah.

Dengan demikian, tauhid adalah asas kemerdekaan yang sebenarnya, karena tidak ada kemerdekaan bagi masyarakat yang sebahagiannya mempertuhankan sebahagian yang lain, baik yang dituhankannya itu penguasa seperti Fir' aun yang telah berkata,

"Aku adalah Tuhanmu yang paling Tinggi" An Nazi' at: 24

maupun yang dituhankan tersebut pemimpin agama yang mengharamkan dan menghalalkan sesuatu seenaknya tanpa izin dari Allah 'Azza wa Jalla, sebagai mana kata Al-Quraan tentang Ahlul-Kitab,

"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam ...." At Taubah: 31

Mereka yang mempertuhankan itu jelas-jelas mengumumkannya baik melalui ucapan dan penyataannya maupun mengumumkannya lewat praktek-praktek dan amal perbuatannya sebagaimana yang banyak terjadi, dan natijah (hasilnya) sama, yaitu memperhambakan manusia kepada manusia lain.

Oleh karena itu surat-surat yang pernah dikirim oleh Rasulullah saw kepada kaisar Romawi dan penguasa lainnya diakhiri dengan ayat berikut,

"Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebahagian kita menjadikan sebahagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. " Ali Imran, 3: 64.

Generasi Muslim pertama telah mengetahui betul akan hal ini sehingga Rib'iy bin Amir ra berkata kepada Rustam, panglima pasukan Parsi,

"Allah telah membangkitkan kami agar kami mengeluarkan umat manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada Allah semata..."

Tauhid adalah persaudaraan sejati antara sesama manusia. Maka yang bersaudara adalah hamba manusia di hadapan Rabb mereka bukan tuhan-tuhan dengan hamba sahaya Nya.

Di antara do'a Rasulullah saw setiap selesai shalat, seperti diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad ialah,

"Ya Allah, Rabb kami, Rabb segala sesuatu. Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rabb Yang Maha Esa tidak ada sekutu bagi Engkau. Ya Allah, Rabb kami, Rabb segala sesuatu. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul Mu. Ya Allah, Rabb kami, Rabb segala sesuatu, aku bersaksi bahwa seluruh hamba-Mu adalah bersaudara. "

Dari sini nampaklah bahwa Rasulullah saw telah menempatkan ukhuwah dan persaudaraan di tempat kedua setelah dua kalimat syahadat karena ukhuwah merupakan buah dari keduanya.

Tauhid juga merupakan asas bagi persamaan hakiki antara manusia. Apabila mereka yang dituhankan di dunia tentu tidak sama dengan yang menuhankannya, karena yang menuhankannya harus tunduk kepada mereka, maka akidah tauhid memandang semua manusia sama, yaitu mereka adalah hamba bagi Rabb yang Esa, dan semua manusia sama dari sisi bahwa datuk mereka adalah satu (Adam 'Alaihis Salaam).

Rasulullah saw telah menyatakan hal ini dalam haji wada' di telinga mereka yang menjadi saksi, beliau bersabda,

"Wahai segenap manusia, sesungguhnya Rabbmu satu dan bapakmu satu. Kamu semua dari Adam sedang Adam dari tanah. Tidaklah seorang Arab lebih baik dari seorang bukan Arab, tidak pula yang berkulit putih lebih mulia atas yang berwarna hitam kecuali dengan takwa. " Al-Hujurat: 13

Nabi saw sendiri tidak menempatkan dirinya, ke kedudukan melebihi hamba. Beliau adalah: hamba Allah dan Rasul-Nya, bukan ilah atau setengah ilah atau sepertiga ilah, bahkan Allah SWT telah menyuruhnya dengan firman-Nya,

"Katakanlah (hai Muhammad), 'Aku tidak lain adalah manusia seperti kamu yang diwahyukan kepadaku: bahwa sesungguhnya Tuhan kamu yang itu adalah Tuhan Yang Esa'." Al-Kahfi: 110

Rasulullah saw telah mengingatkan umatnya agar tidak bersikap ghuluw (berlebihan) seperti yang terjadi pada agama-agama yang terdahulu. Pesan beliau,

"Janganlah kamu bersikap berlebih-lebihan terhadap aku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan terhadap Isa bin Maryam. Tetapi katakanlah: (Muhammad) hamba Allah dan Rasul-Nya." Muttafaq ' Alaih.

Akidah tauhid ini berikut cakupannya yang terdiri dari beriman kepada Allah dengan mensucikan-Nya dari setiap kekurangan dan menyifati-Nya dengan segala sifat kesempurnaan, harus menjadi pemberi inspirasi pertama dan pembimbing awal dalam kehidupan Islami.
Masyarakat Muslim adalah masyarakat yang berakidah dan punya pemikiran yang jelas bukan masyarakat liar tak punya akidah dan keyakinan. Akidah dan pikiran yang dimilikinya adalah akidah dan pemikiran Islam yang harus mewarnai kehidupan ini,

"Sibghah Allah. Dan siapakah yang lebih balk sibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nyalah kami menyembah " Al Baqarah: 138

Kewujudan akidah Islam di masyarakat Muslim harus berbeza dengan kewujudan akidah Marxist di masyarakat komunis. la memandangnya sebagai dasar filsafah kebudayaan, sosial dan politik.

Dalam masyarakat Muslim, Islam di pusat negerinya sendiri tidak boleh hanya sekedar diperbolehkan dan diberi kebebasan bagi orang untuk meyakininya atau menolaknya, dimana agama itu milik Allah sedang negara milik manusia seperti kata mereka.

Masyarakat Muslim harus memelihara akidah dan menjaganya dan berjuang untuk menyebarkan dan mengokohkan serta mencegah kemurtadan darinya,

"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. " Al-Maidah: 54

Dari sisi lain, kita melihat sekularisma, sekalipun menerima akidah Islam secara teori atau dalam kata-kata, namun is menolak sikap yang wajib dimiliki oleh seorang Muslim sebagai tuntutan akidah yang dianutnya. Hal itu tampak pada dua persoalan berikut:

1: Pertama

Sekularisma menolak akidah Islam dijadikan sebagai kesetiaan dan intima (dibangsakannya seseorang). Sekularisma menolak ikatan agama. Ia mengutamakan ikatan darah, suku dan tanah air dan sejenisnya. Ini bertentangan secara diametral dengan pernyataan Al Quraan yang menegakkan ukhuwah dan persaudaraan di atas dasar iman dan akidah,

"Orang-orang yang beriman itu tidak lain adalah bersaudara." Al Hujurat: 10

"Maka dengan nikmat-Nya kamu menjadi bersaudara." Ali Imran: 103

Islam menjadikan wala (kesetiaan dan dukungan) mukmin kepada Allah, rasul-Nya dan jama'ah orang-orang mukmin sebelum kepada yang lain,

"Sesungguhnya penolong (kekasih) kamu hanyalah Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolong (pendukungnya), maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang." Al Maidah: 55-56

Islam tidak mengakui setiap bentuk ikatan, betapa pun kuat dan dekatnya ikatan itu, seperti ikatan atau hubungan bapak dengan anak atau saudara kandung apabila ikatan itu bertentangan dengan ikatan iman. Allah SWT berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak kamu dan saudara-saudara kamu pemimpin pemimpinmu jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpin kamu, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim" At-Taubah: 23

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalam surga itu " Al-Mujaadilah: 22

Al Quraan Al Karim telah memberikan kepada kita contoh dengan datuk para Nabi, yakni Nabiyullahh Ibrahim 'Alaihis salam dimana dia berlepas diri dari ayahnya saat tampak baginya bahwa dia memusuhi Allah. Begitu juga sikapnya dan sikap orang-orang yang beriman bersamanya, mereka tidak setia kepada kaumnya yang kafir kepada Allah,

"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka: Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dengan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja," Al Mumtahanah: 4

Allah juga telah berfirman kepada nabi-Nya Nuh Alaihis salam mengenai putra kandungnya ketika putranya ini membangkang kepada Rabb-nya, Allah berfirman,

'Hai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluarga kamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik' Huud: 46

Di dalam ayat yang banyak, Allah SWT mengingatkan orang-orang yang beriman agar tidak menjadikan musuh Allah sebagai pemimpin atau pendukungnya. Peringatan ini begitu keras sehingga orang yang melakukannya hampir dipandang sebagai orang murtad.

"Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk ke golongan mereka." Al Maidah: 51

Pada ayat selanjutnya, Allah berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, yang bersikap keras kepada orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah. " Al-Maaidah: 54

Tidak ada kelonggaran dalam soal ini kecuali ketika si mukmin berada dalam ketidak-upayaan yang tidak menemukan jalan lain kecuali harus pura-pura memperlihatkan kepatuhan terhadap orang kafir sebagai siasah memelihara diri, dan sikap seperti ini merupakan pengecualian dari kaedah umum. Allah SWT berfirman,

"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin dan pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasah) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kamu kembali " Al Imran: 28

Ayat ini menunjukkan bahwa kata wali (Wilayah) bermakna menolong mereka dan ikut dalam barisan mereka. Bukan bermakna kecenderungan hati atau cinta. Karena jika maknanya "cinta" tentu tidak ada rukhsah (kelonggaran) dan pengecualian lantaran orang yang lemah dan tidak berdaya di sini mungkin menyimpan kebencian dan permusuhan yang tidak dapat dilihat oleh seorang pun.

2: Kedua

Sekularisma menolak penganut akidah Islam untuk melakukan hukum Allah dan Rasul-Nya sebagai natijah dari iman dan akidah Islam yang dianutnya. Inilah yang dinyatakan oleh Al Quraan Al Karim dalam penjelasan yang begitu detail dan jelas, tanpa ada kesamaran di dalamnya. Allah 'Azza wa Jalla berfirman,

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata." Al Ahzaab: 36

"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, 'Sami'na wa atha'na (kami mendengar dan taat) '. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." An Nuur: 51

"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." An-Nisa: 65

Jelaslah bahwa akidah Islam mewajibkan Muslim untuk menyesuaikan hidupnya dengan undang-undang dan hukum yang telah ditetapkan oleh akidah itu dan akidah Islam mengharuskan kesan daripadanya terlihat pada perilaku dan tindak-tanduknya baik sebagai pemimpin maupun sebagai orang yang dipimpin (rakyat).

Sekularisma ingin agar akidah Islam hanya ada dalam hati tidak tampil bergerak dalam pertarungan kehidupan dan tidak memberikan pengaruh kepada tujuan dan sistem kehidupan. Kalaupun harus aktif dan bergerak, ia hanya boleh bergerak dan aktif di masjid saja yang masjidnya sendiri di bawah kekuasaannya.

Oleh karena itu seorang Muslim yang hidup dalam pemerintahan sekular merasakan pertentangan antara akidah yang diyakininya dengan realiti yang harus dijalani.

Oleh: Dr Yusof al Qardhawi


0 comments:

 
Tarbiyah Pewaris © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum